01 November 2012

Cerpen oleh :
ZAENAL ABIDIN



DI SEBUAH RUMAH PENGUNGSIAN

            Aku mohon kau menginap di rumahku malam ini, Zaen. Aku mohon.
            Itu sms dari sobat karibku. Namanya Janoko –nama seorang tokoh ksatria dalam pewayangan. Usianya 40 tahun, sudah profesor doktor, mengajar di ITB. Tidak main-main, gelar doktornya dalam fisika, diperoleh dari Jerman.
            Dia teman SMA, sejak kelas 1 sampai 3. Otaknya memang cerdas. Belajar tidak terlalu tekun. Toh, nilai rapor selalu tertinggi. Hobinya musik rock. Penyanyi favoritnya, masa itu, adalah Mick Jagger, Ahmad Albar, Gito Rolies. Wajahnya tampan. Flamboyan.
            Menurutku waktu SMA dulu, hanya satu kelemahannya: sifat kurang ajarnya terhadap para cewek. Hampir setiap hari, saat istirahat, dia keluar masuk kelas 1 sampai 3. Tujuannya, minimal menggoda cewek dengan kata-kata, dan maksimal, menuruti tangan jahilnya beroperasi.
            Tangannya beraksi dari pipi turun ke leher. Dari leher turun ke dada. Dada turun ke bawah dada. Dan ke bawahnya lagi. Digoda dan diperlakukan begitu, cewek-cewek hanya bisa menjerit, memukul, atau melemparinya dengan buku, tas, sepatu, apa saja, sekenanya. Bagaimana perasaan cewek-cewek waktu itu, aku hanya menduga, mungkin perpaduan antara malu, jengkel, dan bangga.
            Selepas SMA kami jarang bertemu. Tapi sering berkomunikasi via telefon. Ketika mau menikah, dia mengundangku secara khusus, dengan surat tulisan tangan. Itu terjadi tiga tahun selepas SMA, saat kami sama-sama semester enam.            Bahkan sepekan sebelum hari-H, dia yang waktu itu aktif di senat mahasiswa ITB dan kebetulan mewakili almamaternya menghadiri sebuah forum mahasiswa se-Indonesia di UGM, menyempatkan datang ke tempat kostku, di Sewon, Bantul, Yogyakarta.
            Dia tunjukkan foto calon istrinya. Yang membuatku kaget, calon istrinya masih teramat muda. Baru 16 tahun, kelas 1 SMA di Purwokerto.
            ”Kecelakaan, Ko?” kucoba bertanya serius. Dia hanya terdiam.
OOo
            Ketika aku menikah, dia menyempatkan datang, bersama istri dan anaknya. Bandung-Yogya ditempuh dengan sedan VW bututnya yang dikemudikan sendiri. Setelah menginap di rumah istrinya di Purwokerto, paginya dia langsung ke Yogya, mengikuti prosesi akad nikahku.
            Dia bawakan hadiah istimewa: buku-buku filsafat, salah satunya karya Whitehead, fisikawan yang kemudian menjadi filosof dengan reputasi internasional itu –dia tahu kegemaranku– dan sebuah handphone –tergolong barang mewah kala itu.
            Ia bercerita bahwa setelah keluar dari sekolah pada bulan ketiga kehamilannya, istrinya diboyong ke Bandung, menyelesaikan SMA di sana, dan sempat kuliah.
            ”Jangan sampai hilang. Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” pesannya saat berpamitan. Kami berpelukan. Anaknya –bocah itu tak tahu apa pun yang terjadi yang mengawali proses kelahirannya di dunia, ia tetaplah suci– mencium tanganku dan istriku.
            Setahun kemudian, ia mengabariku kalau mendapat bea siswa ke Jerman.
            “Anak istri kau ajak?”
            “Nggak, Zaen. Biar tetap di Bandung, ngurusi asrama,“ jawabnya dari speaker handphone. Memang dia mengelola asrama mahasiswa.
            Aku menyarankan sebaiknya anak istrinya diajak. Tetapi istrinya sendiri lebih senang tetap di rumah. Alasannya agar suami bisa lebih konsentrasi belajar dan tidak menambah biaya beban hidup di luar negeri.
            Selama di Jerman dia masih sering meneloponku, sekedar bercerita ringan, tentang suasana kampusnya, tentang makanan, cuaca, juga para wanitanya –yang terakhir ini membuatku agak merinding.
            Aku sempat khawatir ketika hampir enam bulan dia tak pernah menghubungiku. Aku coba hubungi nomor hp-nya, selalu gagal. Mungkin ganti nomor. Sampai suatu saat dia menghubungiku dengan nomor baru. Seperti membenarkan rasa curigaku, dia bercerita panjang lebar tentang seorang gadis keturunan Yahudi-Jerman yang satu jurusan. Namanya Hannah Schimmel.
            “Luar biasa, Zaen. Tak ada satu mata kuliah pun yang nilainya sanggup kusamai, apalagi kulampaui.”
            ”Aku seperti remaja SMA lagi, Zaen. Bahkan, ....,”
            ”Gimana anak istri di Bandung? Kau ajaklah sekalian kesana?” sebisa mungkin aku berusaha menasehatinya.
            Itu percakapan sepuluh tahun lalu.
OOo
            Pulang ke tanah air, ia kembali mengajar di almamaternya. Syukur Alhamdulillah, katanya padaku suatu kali, setelah kembali lagi di tengah-tengah keluarga, ia bisa melupakan gadis Yahudi-Jerman itu.
            Ketika ada seminar di Bandung, aku sengaja menginap di rumahnya. Pasti banyak cerita menarik untuk bahan diskusi sambil bergadang semalam suntuk –seperti yang sering kami lakukan ketika lama tidak bertemu.
            Tetapi, dua malam menginap di rumahnya, ada sesuatu yang berubah. Tak ada lagi kopi kental, tak juga rokok. Tak ada diskusi, tak ada begadang.
            Dia bergegas ke masjid begitu suara adzan terdengar, dan dzikir  berlama-lama usai shalat. Juga bangun dan shalat malam jam 2 dini hari. Berangkat ke masjid sebelum adzan shubuh, dan tidak pulang sebelum kuliah shubuh selesai. Lalu membaca Al-Qur’an sampai jam 6 pagi.
            Ada sedikit kekecewaan karena kami tidak bisa berdiskusi seperti biasa. Tapi diam-diam jauh di relung hati aku gembira dan bangga dia bisa berubah seperti itu.
            ”Allah mengilhamiku jalan hidayah di balik rumus, aksioma, hukum-hukum fisika,” katanya suatu pagi ketika kami sarapan. Ia juga berencana menulis sebuah buku tentang Tuhan dan Fisika.
OOo
            Lama aku menanti-nanti kapan bukunya selesai. Satu, dua, tiga, empat tahun. Tak juga terwujud. Ketika kutanya, jawabnya selalu masih proses editing.
            Sampai akhirnya sms itu kuterima. Ia memintaku datang di rumahnya, di lereng Sungai Gajah Wong,  Sleman. Kapan ia datang dan membangun rumah di Yogya?
            Tak banyak berpikir, aku datang bersama istri dan anakku dengan sepeda motor. Perlu waktu hampir satu jam mencari rumahnya.
            Kami berpelukan. Dia menyambut dengan ramah. Kami sekeluarga diharuskan menginap di rumahnya. Sebuah rumah benar-benar sederhana. Di lereng sungai. Air gemericik hanya tiga meter sebelah timur. Sepanjang sungai ditumbuhi semak-semak dan pepohonan –kebanyakan pohon bambu.
            Istriku sebenarnya mengajak pulang. Terus terang dia takut. Katanya, suasana rumah dan alam di situ mengingatkannya pada sinetron Mak Lampir. Tapi aku berhasil membujuknya. Anggap saja ini liburan akhir pekan sambil membayangkan kampung halaman.
            Aku masuki rumah itu. Tak banyak perabot. Hanya satu yang menonjol dari semua interior. Sebuah almari kecil penuh buku-buku. Yang menyedot perhatianku, ada beberapa jilid tebal kitab tafsir, fiqih, dan beberapa yang lain, hampir semuanya tentang Islam. Hampir semuanya berbahasa Inggris dan Jerman. Sebagian kecil majalah dan buku-buku berbahasa Indonesia
            Malam itu kami sengaja bergadang di beranda depan rumah. Tak ada lampu listrik. Hanya lampu minyak ukuran besar menggantung di atap. Tapi malam ini bulan bundar muncul. Cahanya menyusup dari celah-celah pohon bambu yang gemersik tertiup angin. Suasana yang mengingatkanku pada masa kecil di kampung, menggelar tikar di halaman dengan ayah, ibu, dan adik-adikku, mendengarkan lagu melayu dari radio.
            ”Selain kau, Zaen, aku tak memberitahu siapa pun.”
            ”Anak istri?”
            ”Tidak juga”
            ”Apa maksudmu?”
            ”Kau akan tahu nanti, Zaen. Aku merasa ada sesuatu yang belum kutunaikan dalam hidup ini.”
            ”Gadis Jerman itu?”
            ”Termasuk. Dia hamil satu bulan. Lalu tewas dalam kecelakaan.“
            Jam satu malam. Mataku sudah tak kuasa menahan kantuk. Anak dan istriku sudah sudah tidur sejak tadi. Aku masuk, tidur.
            Jam empat shubuh dia membangunkanku. Kami ke masjid yang jaraknya hampir satu kilo dengan berjalan kaki. Hanya ada tiga rumah kecil kami lewati, di sebelah utara masjid. Selebihnya hanya persawahan dan rawa-rawa.
OOo
            Ahad pagi. Aku dan istri sepakat akan membuat masakan istimewa untuknya di rumah ini. Pasti dia rindu masakan wanita. Anak istri kuajak belanja ke pasar. Istriku akan membuat menu pecel istimewa untuk profesor kita ini. Menunggu anak istri masuk pasar, aku baca koran di kios dekat pertigaan. Di halaman resensi ada artikel yang menelaah buku karya fisikawan Stephen Hawking. Ah, ini pasti akan jadi bahan diskusi menarik usai sarapan nanti.
            Sampai di rumah, istri membuka pintu, masuk duluan.  Baru beberapa detik, terdengar jeritan histeris suara istriku dari dalam rumah.
            Aku berlari masuk.
            Masyaa Allah. Tubuh Janoko terjungkal. Darah memenuhi seluruh tubuhnya. Di sampingnya sebuah kursi yang roboh, penuh darah.    
            Cepat kutarik istriku keluar. Untung anakku masih di luar.
            Segera kuhubungi polisi dan orang-orang kampung –agak jauh– yang tinggal dekat masjid. Penduduk kampung berdatangan. Setengah jam kemudian mobil polisi datang.
            Kepada polisi aku ceritakan kronologi, apa adanya. Dugaan sementara, profesor bunuh diri. Tapi mengapa caranya begitu aneh. Dengan alat mekanik sederhana, batu-batu seukuran kepalan tangan jatuh dari bak plastik besar yang ditempatkan di atas, jatuh mengena kepala dan tubuhnya yang bersandar di kursi. Metode yang sebenarnya terlalu rumit kalau untuk sekadar bunuh diri.
            Jam tiga jenazah usai divisum. Sebelum diberangkatkan ke Bandung, aku usulkan untuk disholatkan dulu di masjid. Aku agak kerepotan juga aku mengurusi  ini itu. Untung beberapa koleganya di UGM membantu proses pemulangan jenazah. Akhirnya sampai juga di Bandung.
            Di rumah duka, istrinya bertanya banyak padaku perihal almarhum. Aku sampaikan awal mula kejadian itu, apa adanya. Dia, yang berusaha tetap tabah, sungguh tak menyangka suaminya akan berbuat senekad itu.
            Esok harinya, jam sembilam malam aku baru sampai rumah. Sehabis shalat Isya’, aku buka milis.
            ”Ma’afkan aku, Zaen. Begitulah hukum Tuhan. Hukum pengungsian dan rajam bagi pezina, dan itulah sebabnya aku tinggal di rumah pengasingan ini dan merajam dengan cara seperti ini. Orang-orang pasti tak setuju, juga kau, Zaen. Tapi inilah menurutku satu-satunya cara bertobat, agar aku tak punya beban lagi di akhirat kelak.”
            ”Jadi, ...dia merajam dirinya sendiri? Iya, iya, Mas? Kenapa engkau diamkan? Kenapa tak kau cegah? Kenapa? Mas, kenapa, Mas?” tiba-tiba istriku sudah berdiri di belakang kursi, menuntut jawaban, sambil menangis.
            Aku diam. Dia semakin bersikeras menuntut penjelasanku, sambil menggoyang-goyang bahuku. Makin keras. Tangisnya makin menjadi. ”Kenapa, Mas?”
            ”Malam itu dia bilang, ada yang belum ditunaikan dalam hidup ini. Tapi siapa yang menyangka kalau begitu itu yang akan ditunaikan. Sekarang ia telah tunaikan semuanya. Dia sadar masa lalunya penuh dosa. Dia insaf, dan bertobat. Dengan caranya sendiri dia belajar Islam, melalui buku-buku, nyaris tanpa guru. Mengamalkannya sebisa mungkin. Dengan caranya sendiri pula dia bertobat dengan memilih jalan itu. Kita do’akan saja.”
            Tangis istriku makin tak terbendung. Setengah histeris ia memelukku. Air matanya meleleh di bahuku. Anakku yang umurnya belum genap setahun terbangun karenanya, menangis di kamar. Sementara istriku masih larut dalam isak tangis dan menelungkupkan wajahnya ke bantal, biarlah kucoba mengurangi satu saja dari dua suara tangis dan kegaduhan malam kecil ini: kubuatkan susu si kecil dan memeluknya. Aku toh punya cara sendiri mengatasinya.
oooOooo