Cerpen oleh :
ZAENAL ABIDIN
ZAENAL ABIDIN
DI SEBUAH RUMAH PENGUNGSIAN
Aku mohon kau menginap di rumahku malam
ini, Zaen. Aku mohon.
Itu
sms dari sobat karibku. Namanya Janoko –nama seorang tokoh ksatria dalam
pewayangan. Usianya 40 tahun, sudah profesor doktor, mengajar di ITB. Tidak
main-main, gelar doktornya dalam fisika, diperoleh dari Jerman.
Dia
teman SMA, sejak kelas 1 sampai 3. Otaknya memang cerdas. Belajar tidak terlalu
tekun. Toh, nilai rapor selalu tertinggi. Hobinya musik rock. Penyanyi
favoritnya, masa itu, adalah Mick Jagger, Ahmad Albar, Gito Rolies. Wajahnya
tampan. Flamboyan.
Menurutku
waktu SMA dulu, hanya satu kelemahannya: sifat kurang ajarnya terhadap para
cewek. Hampir setiap hari, saat istirahat, dia keluar masuk kelas 1 sampai 3. Tujuannya,
minimal menggoda cewek dengan kata-kata, dan maksimal, menuruti tangan jahilnya
beroperasi.
Tangannya
beraksi dari pipi turun ke leher. Dari leher turun ke dada. Dada turun ke bawah dada. Dan ke bawahnya lagi.
Digoda dan diperlakukan begitu, cewek-cewek hanya bisa menjerit, memukul, atau
melemparinya dengan buku, tas, sepatu, apa saja, sekenanya. Bagaimana perasaan
cewek-cewek waktu itu, aku hanya menduga, mungkin perpaduan antara malu,
jengkel, dan bangga.
Selepas SMA kami jarang bertemu. Tapi
sering berkomunikasi via telefon. Ketika mau menikah, dia mengundangku secara
khusus, dengan surat tulisan tangan. Itu terjadi tiga tahun selepas SMA, saat
kami sama-sama semester enam. Bahkan
sepekan sebelum hari-H, dia yang waktu itu aktif di senat mahasiswa ITB dan
kebetulan mewakili almamaternya menghadiri sebuah forum mahasiswa se-Indonesia
di UGM, menyempatkan datang ke tempat kostku, di Sewon, Bantul, Yogyakarta.
Dia tunjukkan foto calon istrinya. Yang
membuatku kaget, calon istrinya masih teramat muda. Baru 16 tahun, kelas 1 SMA
di Purwokerto.
”Kecelakaan,
Ko?” kucoba bertanya serius. Dia hanya terdiam.
OOo
Ketika
aku menikah, dia menyempatkan datang, bersama istri dan anaknya. Bandung-Yogya
ditempuh dengan sedan VW bututnya yang dikemudikan sendiri. Setelah menginap di
rumah istrinya di Purwokerto, paginya dia langsung ke Yogya, mengikuti prosesi
akad nikahku.
Dia
bawakan hadiah istimewa: buku-buku filsafat, salah satunya karya Whitehead,
fisikawan yang kemudian menjadi filosof dengan reputasi internasional itu –dia
tahu kegemaranku– dan sebuah handphone –tergolong barang mewah kala itu.
Ia
bercerita bahwa setelah keluar dari sekolah pada bulan ketiga kehamilannya,
istrinya diboyong ke Bandung, menyelesaikan SMA di sana, dan sempat kuliah.
”Jangan
sampai hilang. Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” pesannya saat berpamitan. Kami
berpelukan. Anaknya –bocah itu tak tahu apa pun yang terjadi yang mengawali
proses kelahirannya di dunia, ia tetaplah suci– mencium tanganku dan istriku.
Setahun
kemudian, ia mengabariku kalau mendapat bea siswa ke Jerman.
“Anak
istri kau ajak?”
“Nggak,
Zaen. Biar tetap di Bandung, ngurusi asrama,“ jawabnya dari speaker handphone.
Memang dia mengelola asrama mahasiswa.
Aku
menyarankan sebaiknya anak istrinya diajak. Tetapi istrinya sendiri lebih
senang tetap di rumah. Alasannya agar suami bisa lebih konsentrasi belajar dan tidak
menambah biaya beban hidup di luar negeri.
Selama
di Jerman dia masih sering meneloponku, sekedar bercerita ringan, tentang
suasana kampusnya, tentang makanan, cuaca, juga para wanitanya –yang terakhir
ini membuatku agak merinding.
Aku
sempat khawatir ketika hampir enam bulan dia tak pernah menghubungiku. Aku coba
hubungi nomor hp-nya, selalu gagal. Mungkin ganti nomor. Sampai suatu saat dia
menghubungiku dengan nomor baru. Seperti membenarkan rasa curigaku, dia
bercerita panjang lebar tentang seorang gadis keturunan Yahudi-Jerman yang satu
jurusan. Namanya Hannah Schimmel.
“Luar
biasa, Zaen. Tak ada satu mata kuliah pun yang nilainya sanggup kusamai,
apalagi kulampaui.”
”Aku
seperti remaja SMA lagi, Zaen. Bahkan, ....,”
”Gimana
anak istri di Bandung? Kau
ajaklah sekalian kesana?” sebisa mungkin aku berusaha menasehatinya.
Itu
percakapan sepuluh tahun lalu.
OOo
Pulang
ke tanah air, ia kembali mengajar di almamaternya. Syukur Alhamdulillah, katanya
padaku suatu kali, setelah kembali lagi di tengah-tengah keluarga, ia bisa
melupakan gadis Yahudi-Jerman itu.
Ketika
ada seminar di Bandung, aku sengaja menginap di rumahnya. Pasti banyak cerita
menarik untuk bahan diskusi sambil bergadang semalam suntuk –seperti yang
sering kami lakukan ketika lama tidak bertemu.
Tetapi,
dua malam menginap di rumahnya, ada sesuatu yang berubah. Tak ada lagi kopi
kental, tak juga rokok. Tak ada diskusi, tak ada begadang.
Dia
bergegas ke masjid begitu suara adzan terdengar, dan dzikir berlama-lama usai shalat. Juga bangun dan
shalat malam jam 2 dini hari. Berangkat ke masjid sebelum adzan shubuh, dan
tidak pulang sebelum kuliah shubuh selesai. Lalu membaca Al-Qur’an sampai jam 6
pagi.
Ada
sedikit kekecewaan karena kami tidak bisa berdiskusi seperti biasa. Tapi diam-diam
jauh di relung hati aku gembira dan bangga dia bisa berubah seperti itu.
”Allah
mengilhamiku jalan hidayah di balik rumus, aksioma, hukum-hukum fisika,”
katanya suatu pagi ketika kami sarapan. Ia juga berencana menulis sebuah buku tentang Tuhan dan Fisika.
OOo
Lama
aku menanti-nanti kapan bukunya selesai. Satu, dua, tiga, empat tahun. Tak juga
terwujud. Ketika kutanya, jawabnya selalu masih proses editing.
Sampai
akhirnya sms itu kuterima. Ia memintaku datang di rumahnya, di lereng Sungai
Gajah Wong, Sleman. Kapan ia datang dan
membangun rumah di Yogya?
Tak
banyak berpikir, aku datang bersama istri dan anakku dengan sepeda motor. Perlu
waktu hampir satu jam mencari rumahnya.
Kami
berpelukan. Dia menyambut dengan ramah. Kami sekeluarga diharuskan menginap di
rumahnya. Sebuah rumah benar-benar sederhana. Di lereng sungai. Air gemericik
hanya tiga meter sebelah timur. Sepanjang sungai ditumbuhi semak-semak dan
pepohonan –kebanyakan pohon bambu.
Istriku
sebenarnya mengajak pulang. Terus terang dia takut. Katanya, suasana rumah dan
alam di situ mengingatkannya pada sinetron Mak Lampir. Tapi aku berhasil
membujuknya. Anggap saja ini liburan akhir pekan sambil membayangkan kampung halaman.
Aku
masuki rumah itu. Tak banyak perabot. Hanya satu yang menonjol dari semua
interior. Sebuah almari kecil penuh buku-buku. Yang menyedot perhatianku, ada
beberapa jilid tebal kitab tafsir, fiqih, dan beberapa yang lain, hampir
semuanya tentang Islam. Hampir semuanya berbahasa Inggris dan Jerman. Sebagian
kecil majalah dan buku-buku berbahasa Indonesia
Malam
itu kami sengaja bergadang di beranda depan rumah. Tak ada lampu listrik. Hanya
lampu minyak ukuran besar menggantung di atap. Tapi malam ini bulan bundar muncul.
Cahanya menyusup dari celah-celah pohon bambu yang gemersik tertiup angin.
Suasana yang mengingatkanku pada masa kecil di kampung, menggelar tikar di
halaman dengan ayah, ibu, dan adik-adikku, mendengarkan lagu melayu dari radio.
”Selain
kau, Zaen, aku tak memberitahu siapa pun.”
”Anak
istri?”
”Tidak
juga”
”Apa
maksudmu?”
”Kau
akan tahu nanti, Zaen. Aku merasa ada sesuatu yang belum kutunaikan dalam hidup
ini.”
”Gadis
Jerman itu?”
”Termasuk.
Dia hamil satu bulan. Lalu tewas dalam kecelakaan.“
Jam
satu malam. Mataku sudah tak kuasa menahan kantuk. Anak dan istriku sudah sudah
tidur sejak tadi. Aku masuk, tidur.
Jam
empat shubuh dia membangunkanku. Kami ke masjid yang jaraknya hampir satu kilo
dengan berjalan kaki. Hanya ada tiga rumah kecil kami lewati, di sebelah utara
masjid. Selebihnya hanya persawahan dan rawa-rawa.
OOo
Ahad
pagi. Aku dan istri sepakat akan membuat masakan istimewa untuknya di rumah ini.
Pasti dia rindu masakan wanita. Anak istri kuajak belanja ke pasar. Istriku
akan membuat menu pecel istimewa untuk profesor kita ini. Menunggu anak istri
masuk pasar, aku baca koran di kios dekat pertigaan. Di halaman resensi ada artikel yang menelaah buku
karya fisikawan Stephen Hawking. Ah, ini pasti akan jadi bahan diskusi menarik usai sarapan nanti.
Sampai di rumah, istri membuka pintu,
masuk duluan. Baru beberapa
detik, terdengar jeritan histeris suara istriku dari dalam rumah.
Aku
berlari masuk.
Masyaa
Allah. Tubuh Janoko terjungkal. Darah memenuhi seluruh tubuhnya. Di
sampingnya sebuah kursi yang roboh, penuh darah.
Cepat
kutarik istriku keluar. Untung anakku masih di luar.
Segera
kuhubungi polisi dan orang-orang kampung –agak jauh– yang tinggal dekat masjid.
Penduduk kampung berdatangan. Setengah jam kemudian mobil polisi datang.
Kepada
polisi aku ceritakan kronologi, apa adanya. Dugaan sementara, profesor bunuh
diri. Tapi mengapa caranya begitu aneh. Dengan alat mekanik sederhana,
batu-batu seukuran kepalan tangan jatuh dari bak plastik besar yang ditempatkan
di atas, jatuh mengena kepala dan tubuhnya yang bersandar di kursi. Metode yang
sebenarnya terlalu rumit kalau untuk sekadar bunuh diri.
Jam
tiga jenazah usai divisum. Sebelum diberangkatkan ke Bandung, aku usulkan untuk
disholatkan dulu di masjid. Aku agak kerepotan juga aku mengurusi ini itu. Untung beberapa koleganya di UGM
membantu proses pemulangan jenazah. Akhirnya sampai juga di Bandung.
Di
rumah duka, istrinya bertanya banyak padaku perihal almarhum. Aku sampaikan
awal mula kejadian itu, apa adanya. Dia, yang berusaha tetap tabah, sungguh tak
menyangka suaminya akan berbuat senekad itu.
Esok
harinya, jam sembilam malam aku baru sampai rumah. Sehabis shalat Isya’, aku buka
milis.
”Ma’afkan
aku, Zaen. Begitulah hukum
Tuhan. Hukum pengungsian dan rajam bagi pezina, dan itulah sebabnya aku tinggal
di rumah pengasingan ini dan merajam dengan cara seperti ini. Orang-orang pasti
tak setuju, juga kau, Zaen. Tapi inilah menurutku satu-satunya cara bertobat,
agar aku tak punya beban lagi di akhirat kelak.”
”Jadi, ...dia merajam dirinya sendiri?
Iya, iya, Mas? Kenapa engkau diamkan? Kenapa tak kau cegah? Kenapa? Mas, kenapa, Mas?” tiba-tiba
istriku sudah berdiri di belakang kursi, menuntut jawaban, sambil menangis.
Aku
diam. Dia semakin bersikeras menuntut penjelasanku, sambil menggoyang-goyang
bahuku. Makin keras. Tangisnya makin menjadi. ”Kenapa, Mas?”
”Malam
itu dia bilang, ada yang belum ditunaikan dalam hidup ini. Tapi siapa yang
menyangka kalau begitu itu yang akan ditunaikan. Sekarang ia telah tunaikan semuanya. Dia sadar
masa lalunya penuh dosa. Dia insaf, dan bertobat. Dengan caranya sendiri dia
belajar Islam, melalui buku-buku, nyaris tanpa guru. Mengamalkannya sebisa
mungkin. Dengan caranya sendiri pula dia bertobat dengan memilih jalan itu.
Kita do’akan saja.”
Tangis
istriku makin tak terbendung. Setengah histeris ia memelukku. Air matanya
meleleh di bahuku. Anakku yang umurnya belum genap setahun terbangun karenanya,
menangis di kamar. Sementara istriku masih larut dalam isak tangis dan
menelungkupkan wajahnya ke bantal, biarlah kucoba mengurangi satu saja dari dua
suara tangis dan kegaduhan malam kecil ini: kubuatkan susu si kecil dan
memeluknya. Aku toh punya cara sendiri mengatasinya.
oooOooo
Tiada ulasan:
Catat Ulasan